Dalam Islam, kita mengenal berbagai kisah, baik dari Nabi, para sahabat, maupun para musuh Islam. Semua kisah ini memiliki cerita yang menarik dan terdapat hikmah didalamnya yang bisa kita ambil. Pada suatu hari, Abu Nawas sedang mengajar para muridnya seperti aktivitas yang biasa dilakukan. Dalam pengajarannya ini, ia membuka sesi tanya jawab sebelum menutup kelas pengajaran. Inilah awal cerita pendek Abu Nawas.
Tidak lama setelah itu, salah seorang muridnya bertanya, manakah yang lebih utama antara orang yang berbuat dosa besar dengan orang yang berbuat dosa kecil?
Kemudian Abu Nawas menjawabnya dengan segera bahwa dosa kecil yang lebih utama.
Lantas, murid itu kembali bertanya penjelasannya.
Ia menjelaskan karena orang yang melakukan dosa kecil masih bisa diampuni oleh Allah SWT.
Tanya lagi salah satu murid, manakah yang lebih utama antara orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil atau dosa-dosa besar? Pertanyaan itu kembali diulanginya.
Abu Nawas menjawab bahwa lebih utama jika tidak melakukan kedua-duanya.
Ia kembali bertanya alasannya.
Abu Nawas menjelaskan bahwa dengan tidak melakukan kedua dosa itu maka pengampunan Allah tidak perlu diragukan lagi.
Murid-muridnya bingung karena jawaban Abu Nawas terus berubah dan terkesan plin-plan. Kemudian salah satu muridnya kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama, manakah yang lebih utama antara orang yang mengerjakan dosa kecil atau besar?
Abu Nawas menjawab jika orang yang melakukan dosa besar lebih utama. Syair Abu Nawas ini memikat hati para muridnya untuk bertanya.
Karena tak puas dengan jawaban yang diberikan sang guru, ia pun memprotesnya. Mengapa sang guru memberikan jawaban yang berbeda pada satu pertanyaan yang sama? Bukankah hal ini berarti sang guru plin-plan?
Dengan tersenyum, Abu Nawas menjawab pertanyaan itu. Ia menjelaskan bahwa pengampunan Allah sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukan hamba-Nya.
Manusia dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkatan mata, otak, dan hati.
Tingkatan mata adalah anak kecil yang melihat bintang di atas langit, ia menyebut bintang itu kecil karena itulah yang terlihat dimata.
Tingkatan otak adalah orang yang pintar melihat bintang di langit. Ia mengatakan jika bintang yang dilihatnya itu besar karena pengetahuan yang dimilikinya.
Tingkatan yang terakhir, tingkatan hati yaitu orang yang pintar dan paham yang melihat bintang pada langit, ia akan mengatakan jika bintang itu kecil meskipun dia tahu jika sebenarnya bintang memiliki ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan tidak ada satupun di dunia yang lebih besar dibanding Allah SWT.
Seluruh murid Abu Nawas itu mengerti, kecuali salah satu muridnya yang kemudian bertanya kembali. Apakah manusia itu menipu Tuhan?
Abu Nawas menjawabnya dengan mungkin.
Murid itu bertanya bagaimana caranya?.
Manusia dapat menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui doa dan pujian. Inilah doa Abu Nawas:
Ilahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.
Arti dari doa itu adalah wahai Tuhanku, aku tidak patut untuk menjadi penduduk surga, namun aku tidak kuat menahan panasnya api di dalam neraka. Oleh karena itu, terimalah tobatku dan ampuni segala kesalahanku, sesunguhnya Allah adalah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
0 Komentar untuk "Kisah Canda Abu Nawas Saat Merayu Tuhan"